MASALAH KESEHATAN IBU HAMIL DAN BAYI
Permasalahan Kesehatan Yang Terjadi Pada
Ibu Hamil dan Bayi
Permasalahan utama yang
saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah
masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan.
Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe
Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita
terutama pada masa kehamilan, saat persalinan dan pasca persalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pada berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pada berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.
Pada penelitian yang
dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya
tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang pertama kali pada
kehamilan 7-9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya pengetahuan akan
pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan
persalinan dipengaruhi juga oleh faktor menikah pada usia muda yang masih
banyak dijumpai di daerah pedesaan. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara
emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu
yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Kelahiran bayi BBLR lebih
tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun. Remaja seringkali
melahirkan bayi dengan berat lebih rendah. Hal ini terjadi karena mereka belum
matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita
dewasa.
Disamping itu, dengan
masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa
suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam
jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada
saat melahirkan. Jarak
kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik,
persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum
pulih dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat
berdekatan (di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap
terjadinya perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia
dan ketuban pecah dini serta dapat
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
Permasalahan lain yang
cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan
karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa
makanan. Sementara kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi
dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat
dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan
ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup
tinggi terutama di daerah pedesaan. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat memengaruhi proses
pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia, intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat
badan rendah (BBLR). Dari data SKRT 1986 terlihat
bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%, dan angka
menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada tahun
1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada
wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk
pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada
kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan
makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI
menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan
piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit
persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang
dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan
kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti
pisang, nanas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh
beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo,
1993)
Memasuki masa persalinan
merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala
kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian.
Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya
faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan
ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap
keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan,
kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan
yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992
rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat
praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu.
Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang
membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan
rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan
tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau
"nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan
kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan
dan pembengkakan). Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada
dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat,
biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan
dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu
juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun
sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional
tertentu rnasih dilakukan.
lnteraksi antara kondisi
kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan
hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis penyebab
klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia
(keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara
tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Namun kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang
baik tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam
keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan keputusan terhadap perawatan
medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua
atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat
keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan
gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang
seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang
diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil.
Keadaan ini sering pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat
pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh
faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit
akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam
pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan
mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap
pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak
dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil,
pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan.
Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan
kondisi fisik misalnya ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan tertentu yang dilarang karena
dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional ada
praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi
fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk
mengembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan seperti
daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan
yang keluar karena proses persalinan atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh
(Iskandar et al., 1996).
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan
kelainan vaskuler yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan
atau pada permulaan persalinan, hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab
penting dari kelahiran mati dan kematian neonatal. Ibu dengan hipertensi akan
menyebabkan terjadinya insufisiensi plasenta, hipoksia sehingga pertumbuhan
janin terhambat dan sering terjadi kelahiran prematur. Hipertensi pada ibu
hamil merupakan gejala dini dari pre-eklamsi, eklampsi dan
penyebab gangguan pertumbuhan janin sehingga menghasilkan berat badan lahir
rendah
Peningkatan konsumsi obat-obatan pada saat hamil
(antara 11% dan 27% wanita hamil, bergantung pada lokasi geografi) telah mengakibatkan makin
tingginya insiden kelahiran premature, BBLR, defek kongenital, ketidakmampuan
belajar, dan gejala putus obat pada janin (Bobak, 2004). Penggunaan alkohol
selama masa hamil dikaitkan dengan keguguran (aborsi spontan), retardasi
mental, BBLR dan sindrom alkohol janin.
Alternatif
Solusi Pada Masalah Kesehatan Ibu Hamil dan Bayi
Sistem kesiagaan di bidang KIA di tingkat masyarakat terdiri atas :
a. Sistem pencatatan-pemantauan.
b. Sistem transportasi-komunikasi.
c. Sistem pendanaan.
d. Sistem pendonor darah.
e. Sistem Informasi KB.
Proses Pemberdayaan Masyarakat bidang KIA ini tidak hanya
proses memfasilitasi masyarakat dalam pembentukan sistem kesiagaan itu saja,
tetapi juga merupakan proses fasilitasi yang terkait dengan upaya perubahan
perilaku, yaitu:
1)
Upaya
mobilisasi sosial untuk menyiagakan masyarakat saat situasi gawat
darurat, khususnya untuk membantu ibu hamil saat
bersalin.
2) Upaya untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam menurunkan angka kematian maternal.
3) Upaya untuk menggunakan sumberdaya
yang dimiliki oleh masyarakat dalam menolong perempuan saat hamil dan
persalinan.
4) Upaya untuk menciptakan perubahan
perilaku sehingga persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan profesional.
5) Upaya pemberdayaan masyarakat
sehingga mereka mampu mengatasi masalah mereka sendiri.
6) Upaya untuk melibatkan laki-laki
dalam mengatasi masalah kesehatan maternal.
7) Upaya untuk melibatkan semua
pemanggku kepentingan (stakeholders) dalam mengatasi masalah kesehatan.
Karena itu Pemberdayaan Masyarakat bidang KIA ini berpijak
pada konsep-konsep berikut ini:
a) Revitalisasi praktek-praktek
kebersamaan sosial dan nilai-nilai tolong menolong untuk perempuan saat hamil
dan bersalin.
b) Merubah pandangan bahwa persalinan
adalah urusan semua pihak, tidak hanya urusan perempuan.
c) Merubah pandangan bahwa masalah
kesehatan tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi merupakan masalah dan
tanggunjawab masyarakat.
d) Melibatan semua pemangku kepentingan
(stakeholders) di masyarakat.
e) Menggunakan pendekatan partisipatif.
f) Melakukan aksi dan advokasi.
Siklus proses yang memberikan masyarakat kesempatan untuk
memahami kondisi mereka dan melakukan aksi dalam mengatasi masalah mereka ini
disebut dengan pendekatan belajar dan melakukan aksi bersama secara
partisipatif (Participatory Learning and Action -PLA). Pendekatan ini tidak
hanya memfasilitasi masyarakat untuk menggali dan mengelola berbagai komponen,
kekuatan-kekuatan dan perbedaan-perbedaan sehingga setiap orang memiliki
pandangan yang sama tentang penyelesaian masalah mereka tetapi pendekatan ini
juga merupakan proses mengorganisir masyarakat sehingga mereka mampu untuk
berpikir, menganalisa dan melakukan aksi untuk menyelesaikan masalah mereka.
Ini adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mereka mampu melakukan aksi
untuk meningkatkan kondisi mereka. Jadi, ini merupakan proses dimana masyarakat
merubah diri mereka secara individual dan secara kolektif dan mereka
menggunakan kekuatan yang mereka miliki dari energi dan kekuatan mereka
(Hartock, 1981).
Didalam konteks pembentukan sistem kesiagaan, pertama-tama
masyarakat perlu untuk memahami dan menganalisa kondisi kesehatan mereka saat
ini, seperti kondisi kesehatan ibu, kesehatan bayi baru lahir, kesehatan bayi,
pelayanan kesehatan, dan berbagai hubungan dan kekuasaan yang mempengaruhi
kondisi tersebut agar mereka mampu untuk melakukan aksi guna memperbaiki
kondisi tersebut berdasarkan analisa mereka tentang potensi yang mereka miliki.
Untuk memfasilitasi mereka agar berpikir, menganalisa dan melakukan aksi,
proses fasilitasi dan warga yang berperan melakukan fasilitasi sangat
diperlukan. Selain itu, warga yang berperan memfasilitasi masyarakatnya
membutuhkan pemahaman tidak hanya tentang konsep Pemberdayaan Masyarakat bidang
KIA tetapi juga membutuhkan pengetahuan dan keterampilan penggunaan metode dan
alat-alat partisipatif. Jadi, pendekatan yang diaplikasikan dalam Pemberdayaan
Masyarakat bidang KIA ini akan menentukan proses dan kegiatan berikutnya dalam
keseluruhan proses Pemberdayaan Masyarakat bidang KIA ini.
Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan
mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan
masyarakat seperti kurang gizi, penyakit menular dan penyakit yang
berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa, kejadian bencana, kecelakaan dan
lain-lain dengan memanfaatkan potensi setempat, secara gotong royong. Selain
sebagai upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada
masyarakat, pengembangan Desa Siaga juga mencakup upaya peningkatan kewaspadaan
dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi masalah-masalah kesehatan, memandirikan
masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat. Inti dari
kegiatan Desa Siaga adalah memberdayakan masyarakat agar mau dan mampu untuk
hidup sehat.
Memperhatikan tujuan dan ruang lingkup pengembangan Desa
Siaga tersebut, maka Pemberdayaan Masyarakat bidang Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) merupakan salah satu komponen yang penting dalam pencapaian tujuan Desa
Siaga dalam hal penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia, Departemen Kesehatan pada periode 2005-2009
memprioritaskan pelayanan kesehatan ibu dan anak sebagai urutan pertama dalam
pembangunan kesehatan. Prioritas berikutnya adalah pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin, pendaya gunaan tenaga kesehatan, penanggulangan penyakit
menular, gizi buruk dan krisis kesehatan akibat bencana serta peningkatan
pelayanan kesehatan daerah terpencil, tertinggal, daerah perbatasan dan
pulau-pulau terluar.
Visi dan Misi Departemen Kesehatan yaitu
meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas,
maka untuk mencapai upaya tersebut adalah :
1. Pelayanan Kesehatan Dasar, yang terdiri dari:
a. Pelayanan Kesehatan ibu dan anak.
Kebijakan tentang KIA secara khusus berhubungan dengan pelayanan
antenatal, persalinan, nifas dan perawatan bayi baru lahir yang diberikan di
semua fasilitas kesehatan dari posyandu sampai rumah sakit pemerintah maupun
fasilitas kesehatan swasta. Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan
oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan,
dokter umum, bidan dan perawat) seperti pengukuran berat badan dan tekanan
darah, pemeriksaan tinggi fundus uteri, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) serta
pemberian tablet besi kepada ibu hamil selama masa kehamilannya sesuai pedoman
pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan
preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan pelayanan ibu
hamil K1 dan K4.
b.
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi
Kebidanan.
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa di sekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional). Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 70,62 % - 77,21 %.
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa di sekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional). Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 70,62 % - 77,21 %.
c.
Deteksi resiko, rujukan kasus resiko tinggi dan penanganan komplikasi.
Kegiatan deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko/komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat. Deteksi risiko oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 sebesar 46,17% sedangkan deteksi risiko oleh masyarakat (kader, tokoh masyarakat,dll) sebesar 22,08%.
Resiko tinggi komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Resiko tinggi/komplikasi kebidanan meliputi Hb <, sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg). Oedeme nyata, ekslampsia, perdarahan pervagina, ketuban pecah dini, letak lintang pada usia kehamilan > 32 minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur.
Kegiatan deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko/komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat. Deteksi risiko oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 sebesar 46,17% sedangkan deteksi risiko oleh masyarakat (kader, tokoh masyarakat,dll) sebesar 22,08%.
Resiko tinggi komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Resiko tinggi/komplikasi kebidanan meliputi Hb <, sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg). Oedeme nyata, ekslampsia, perdarahan pervagina, ketuban pecah dini, letak lintang pada usia kehamilan > 32 minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur.
d.
Kunjungan Neonatus (KN1 dan KN2).
Bayi hingga usia kurang satu bulan merupakan golongan umur yang
memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi. Upaya kesehatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut antara lain dengan melakukan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan pada
neonatus (0-28 hari) minimal dua kali, satu kali pada umur 0-7 hari (KN1) dan
satu lagi pada umur 8-28 hari (KN2). Dalam melaksanakan pelayanan neonatus,
petugas kesehatan disamping melakukan pemeriksaan kesehatan bayi juga melakukan
konseling perawatan bayi pada ibu. Pelayanan tersebut meliputi pelayanan
kesehatan neonatal dasar (tindakan resusitasi, pencegahan hipotermia, pemberian
ASI dini dan eksklusif, pencegahan infeksi berupa perawatan mata, tali pusat,
kulit dan pemberian imunisasi), pemberian vitamin K, manajemen terpadu balita
muda (MTBM), penyuluhan perawatan neonatus di rumah menggunakan buku KIA.
Cakupan kunjungan neonatal (KN2) pada tahun 2007 sebesar 77,16%.
2. Pelayanan Keluarga
Berencana (KB).
Masa subur seorang wanita memiliki peranan penting bagi
terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita melahirkan menjadi cukup tinggi.
Menurut hasil penelitian, usia subur seorang wanita terjadi antara usia 15-49
tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran,
wanita/pasangan lebih diprioritaskan untuk menggunakan alat/cara KB. Berdasarkan
Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007, persentase wanita berumur 10 tahun
keatas yang pernah kawin dengan jumlah anak yang dilahirkan hidup terbesar
adalah 2 orang (23,02%), 1orang (19,52%) dan 3 orang (17,11%). Sedangkan
rata-rata jumlah anak lahir hidup per wanita usia 15-19 tahun adalah 1,79 untuk
daerah perkotaan dan 1,98 di pedesaan.
3. Pelayanan
Imunisasi.
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi
0-1 tahun (BCG,DPT, Campak, Polio, HB), imunisasi untuk wanita usia subur/ibu
hamil TT dan imunisasi untuk anak SD (kelas 1; DT dan kelas 2-3; TT), sedangkan
kegiatan imunisasi tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya masalah seperti
desa non UCI, potensial/resti KLB, ditemukan/diduga adanya virus polio liar
atau kegiatan lainnya berdasarkan kebijakan teknis. Pencapaian UCI pada
dasarnya merupakan proksi terhadap cakupan atas imunisasi secara lengkap pada
kelompok bayi. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu wilayah
tertentu, berarti wilayah tersebut tergambarkan besarnya tingkat kekebalan
masyarakat atau bayi (herd immunity) terhadap penularan penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi (PD31). Dalam hal ini pemerintah menargetkan
pencapaian UCI pada wilayah administrasi desa dan kelurahan. Pencapaian UCI
pada tahun 2007 sebesar 71,18 % dengan target nasional UCI 80%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar